Header Ads

Breaking News

Gadis Sunda dan Sambulawa, Tentang Rindu Di Akhir Senja

Sambulawa dan Gadis Sunda. Foto Istimewa

Sambulawa tengah asyik menikmati bayu senja dari ketinggian Cisarua takala gadis yang sedari tadi duduk diam dengan tatapan sayu di ujung bangku sejauh kurang lebih 2 meter merapat ke sampingnya hingga membentuk jarak super intim.

Hidung Sambulawa bahkah tak dapat menyangkal tajamnya  wangi parfum produk oriflame yang menempel pada tubuh gadis itu. Dan takala Sambulawa menengok ke arahnya, rambut hitam lurusnya menjuntai tanpa hambatan.

Wangi shampo sunsilk yang melekat pada setiap helai rambut gadis itu menusuk tajam indra penciuman  Sambulawa takala angin sore dengan penuh manja  dan teramat sayang menyentuh dan membelainya. Wajahnya begitu ayu. Sambulawa bahkah sempat berpikir bila sedang melihat “kakartana super akrab” di senja yang kurang bersahabat itu.

Namun hal itu ditepisnya sedini mungkin dan dengan daya fenomenologis Sambulawa mengubah prasangkanya menjadi sedikit lebih positif bahwa yang Ia lihat adalah manusia super cantik yang tengah meratap bersama senja yang dibius hujan.

Atau barangkali ia sedang dibius hujan bersama senja. Makhluk yang dilihatnya adalah gadis yang tengah mencari jalan pulang menuju Titik Inti namun sedang tersesat dalam samudera rasa yang mengambang bersama siluet senja yang tercuri kabut dan awan rindu.

Gadis ini tengah memanggil Sang Terang untuk menerangi jalannya menuju Titik Inti Abadi. Dia tengah berharap ada nelayan yang datang melintas dan memberinya perahu kasih yang akan menghantarnya pada Titik Inti.

“Akukah nelayan yang membawa perahu kasih itu?” gumam Sambulawa dalam hati. Mungkinkah Sambulawa adalah nelayan yang membawa perahu kasih itu? Ditilik dari nama yang disandangnya sungguh  mengisyarakan banyak hal.

Ada hal yang tak biasa yang Sambulawa baca dari garis tatapan gadis di hadapannya. Segunung duka melebihi tingginya gunung Pancar sementara keperkasaan duka-duka itu melebihi keperkasaan gunung Salak yang telah menabrak banyak pesawat yang melintas hingga menelan banyak nyawa. Seyogianya, bila dukanya tak segera diusir dan ditumpahkan dari hidupnya, banyak nyawa bisa saja melayang.

Tarikan nafasnya menyiratkan lirik-lirik duka mengalun menjadi melodi sendu kehidupan seorang dara yang dihempas badai asmara. Sambulawa  membaca semua itu. Mimik Wajah dara manis itu, gerak-gerik tubuhnya, ritme hembusan nafasnya—kesemuanya  adalah kumpulan huruf tersusun dan aksara tertata yang kemudian membentuk  bahasa-bahasa putus asa, cemas yang tiada tara  dan keresahan yang tak bertepi.

Pori-porinya pun sesekali ikut berbicara pada senja yang resah dan pada diri Sambulawa yang serius membaca dirinya luar-dalam—Bahasa  pikiran, bathin dan tubuhnya.

“Gadis Sunda ahk Engkau…begitu banyak yang menghuni benakmu, hatimu dan tubuhmu.” Sambulawa memberinya sebuah tatapan lapang.

Dengan cerdas ia menangkap signal kesediaan Sambulawa menjadi tempat untuk Ia berkeluh kesah. Bukan keluh kesah tapi menumpahkan isi hatinya. Membebaskannya dari jeratan persoalan asmara yang melilit hidupnya.

“Kang…Aku mah dah cape ama yg namanya LDR” katanya dengan logat Sunda yang kental bagai kentalnya gula tali ala Sabu Raijua.(Sambulawa pernah, semasa SMA dulu, merasakan betapa kentalnya gula Tali khas Sabu Raijua-sebuah daerah di NTT).

Matanya menyipit genit dan tubuhnya menyamping membentuk putaran dua ratus tiga puluh derajat. Sehingga kini gadis itu dan Sambulawa tepat bertatapan sejajar.

“Akang kan tau atuh…, puncak selalu hujan kang. Bayangin kang, setiap kali hujan, aku pasti diselimuti dingin. Dan entah mengapa, setiap kali rintik-rintik hujan turun membasuh perut bumi, hati ini selalu tergelitik untuk mengingat Si Dia.

Dan hawa dingin ini kang, memaksaku untuk mengharapkan dekapan hangat kang. Cape kang cape.” Lanjut gadis jelita itu bersaksi melawan kegalauannya dengan nada penuh mengeluh. Mengeluh entah kepada siapa!? Sambulawa hanya diam membisu. Membalas tanpa kata. Cukup lama Sambulawa terjebak dalam diam, terperangkap kebisuan, lalu Ia  pun mulai angkat bicara.

“Sama seperti rinai hujan, turunnya dari langit demikian pun kasih dan sayang serta memori yang tertinggal dalam ingatan adalah pemberian dari langit; barangkali itulah sebabnya, mengapa rindu identik dengan hujan dan hujan identik dengan mengingat Si Dia”

Sambulawa kembali menutup mulut dan menunduk. Menatap lantai kedai Kopi Teteh Arifah.  Sementara gadis di sampingnya menatapnya tajam. Itu signal bahwa Ia sedang mendengar dengan cermat dan seksama.

Barangkali ada bongkahan kata-kata emas dari seorang Sambulawa  tadi yang menyentuh relung sanubarinya!? Namun, Sambulawa tetap saja menunduk menatap lantai tanpa kata. Sambulawa—Ia bicara penuh penghayatan.

Penggalan kata yang keluar dari mulutnya selalu datang dari hatinya yang tulus dan sudah melalui proses penghayatan, penyuntingan dan analisis terhadap koneksi pengalaman nyata.

Atau meruapakan hasil analisis saling keterkaitan anatara pengalaman satu individua dengan fenomena global yang dialami orang pada umumnya.

Sambulawa kembali mengangkat kepalanya dan menatap gadis sahaja di hadapannya dengan tatapan mata empatis.

“Bahwa rindu yang menderamu. Melilitmu bagai seorang terpidana cinta. Mengertilah bahwa itu adalah cara kerja cinta. Lilitan rantai rindu yang mengikatmu adalah bentuk ujian cinta agar kau tiba pada Titik Inti. Apapun itu proses harus dijalani dan dilalui.

Untuk mengalami kenikmatan cinta yang dihadiahi Titik Inti, dikau harus mengalami titik terbawa dari kenimatan itu. Dengan kata lain, segala pernak-pernik rasa yang kau alami saat ini adalah perahu kasih yang akan menghantar mu pada kenikmatan bersanding dan bersetubuh dengan Titik Inti.

Lewatilah proses ini dan engkau akan tertawa bebas dan lepas penuh kenikmatan. Ingatlah ini,  kala langit mulai berhenti menangis dan satu dua tetes jatuh malu malu ke pipi bumi juga pipi mu yang mulai karat dan gosong, ada tetesan lain yang yang turun membasahi relung sanubari.

Para penyair acapkali menyebutnya tetesan rindu terberi oleh yang Empunya langit dan rindu atas insan yang berhati bernurani…ada yang menghantam keras tepat pada rongga dada, kata mereka itu sepi. Sepi yang berkecamuk dan memaksa ragamu berkelana(bukan raga tapi jiwa)menembus batas imajinasi dan jarak.

Keberaniaan hati dihempas badai rasa Betapa mencengkamnya matel bunda malam merangkul dan membungkus tubuhmu yang kurus dan kaku Kedinginan jari-jemarinya merengkuh hati yang lara tanpa ampun . Jiwa hanya mampu bernostalgia dengan awan, kabut dan siluet sang fajar yang sebentar lagi dirampas bunda kelam.

Sungai kehidupan mengalir berirama senanda dengan duka lara, bukan sebagai penyulut namun penghempas atas kehendak sang diri. Penyangkalan diri akan membawamu pada sang Titik Inti.

Jangan berkecil hati.” Sambulawa pun pergi bersama petang yang kian gelap dan hilang di balik tatapan mata. Awan membawa sosoknya pergi menjauh.

Rikard Djegadut

Baca Lebih Lanjut

No comments