Header Ads

Breaking News

Mahasiswa Flores Menyihir Warga Jantung Pertiwi Dengan Puisi

IMG-20170807-WA0011.jpg
Tak dapat disangkal, penghargaan terhadap karya Sastra, termasuk puisi, kurang mendapat perhatian penuh dari sejumlah kalangan – baik akademisi, mahasiswa, organisasi maupun di antara para sastrawan sendiri.
Di tengah kelesuan tersebut kita tidak boleh patah arang, mengambil sikap apatis- kemudian membiarkan dunia sastra kian tersudut.
Sebaliknya kita mesti membangun sikap optimis- melakukan transformasi radikal, hingga sastra tidak lagi menjadi barang antik dan karat.
Transformasi radikal semacam ini hanya dimungkinkan sejauh kita memiliki kepekaan, antusiasme dan semangat yang tinggi memupuk kecintaan terhadap dunia sastra.
Karena itu dalam tataran ini, kita mesti “angkat topi” dengan geliat dan aksi sekelompok mahasiswa/i Flores yang bernaung di bawah Dapur Theater Sastra -IKWJ mempertontonkan kebolehan mereka dalam memeriahkan Hari Puisi Indonesia yang puncaknya akan jatuh pada bulan Oktober mendatang dengan mementaskan musikalisasi puisi di Taman Suropati, Jakarta Pusat, Minggu (13/08/2017).
Acara musikalisasi puisi sebagai rangkaian dari perayaan Hari Puisi Indonesia 2017 tersebut dikemas sederhana dengan mengangkat tema besar “merawat keberagaman, merekatkan kemesrahan”.
Kegiatan tersebut dikoordinir langsung oleh Rikard Djegadut, selaku pendiri Dapur Theater Sastra-IKWJ. Dalam sapaan awalnya, Rikard menyentil soal minat sastra masyarakat Indonesia yang memprihatinkan.
“Sejarah kelam dunia kesustraan di Indonesia bermula semenjak kepemimpinan sang Proklamator, Soekarno diambil alih oleh the smiling general Soeharto dan menyentuh titik dasar hingga sekarang.” Jelas Rikard
Rikard juga menekankan bahwa acara musikalisasi puisi malam ini selain sebagai upaya konstruktif merawat keberagaman yang selama ini terus digoncangkan oleh sejumlah pihak yang berkepentingan, juga harus dilihat sebagai kebangkitan komitmen guna merevitalisasi kemunduran minat dan mental.
Dengan demikian orang semakin giat dan tekun menggauli puisi sebagai bagian dari karya sastra-yang mana puisi itu selain sebagai jalan yang membawa kita pada tujuan, puisi juga memberikan proses dual-effect—yakni mengharuskan seseorang merenung dan merenung membawa seseorang pada pencerahan dan kejelasan berpikir.
Sehingga pencipta puisi secara otomatis memiliki kepekaan terhadap kondisi dan situasi sekitar.
Kegiatan yang berlangsung dari pukul 18.00 – 21.00 WIB ini terbilang sukses dan memantik perhatian penuh sebagian publik Jakarta.
Penampilan yang penuh deklamatif dari setiap peserta baca puisi sontak menyihir publik Jantung Pertiwi khususnya yang sedang bertandang menghabiskan waktu di Taman Rekreasi Suropati Menteng Jakarta Pusat.
Penampilan pemuda/i Flores tersebut membawa segenap pengunjung taman pada suasana yang tak biasa walaupun dikemas dengan suguhan yang biasa.
Ada yang patut diacungkan jempol dari keberanian yang dipertontonkan oleh deklamator-deklamator puisi tersebut yang berani tampil dengan kesahajaan namun memantik semangat segenap pengunjung yang bertandang.
Acara perayaan Hari Puisi Indonesia 2017 yang menurut rencana awal seharusnya dihadiri oleh seorang penyair kenamaan, Penggagas Hari Puisi Indonesia sekaligus Ketua Panitia HPI 2017 Asrizal Nur
dan Pegiat sekaligus pengamat Sastra—yang menahbiskan dirinya sebagai Petani Humaniora Bpk. Gerald N. Bibang—namun karena keterbatasan waktu keduanya tidak bisa hadir tersebut berjalan cukup lancar.
Tampil sebagai deklamator pembuka adalah Rian Agung, Mahasiswa Hukum Esa Unggul. Penampilan gemilang dari seorang Rian Agung menantang segenap peserta dan para hadirin, bahkan pengunjung taman yang awalnya hanya lalu-lalung dan melintas, seketika langkahnya terdiam dan memasangkan telinga serta mata ke arah suara yang lantang menggema menjelma suasana taman yang lazim menjadi tak lazim.
P_20170806_173755_1_p
Rian membawakan puisi berjudul: Lima Tanya Untuk Tuhan. Ia mengkritisi pola pikir para theistik yang melegalkan pembunuhan dengan label dan legalitas agama. Ia lalu menggugat Tuhan: mengapa Iman kepada yang Ilahi harus melibatkan kematian yang lain dan mengobarkan hidup “mulia” dari sesama insan yang lain.
Padahal semua insan punya hak yang sama dan dikodrati dengan pilihan masing-masing dalam menapaki setiap jengkal ziarah perjalanan hidup yang hanya sesaat ini. Suaranya menurun pertanda bait puisinya berakhir dan tepuk tangan hadirin menggelegar menghantarnya kembali ke tempat duduk.
Deklamator berikutnya adalah Saudari Yustina Ndia, membawakan puisi Wahai Pemuda Mana Telurmu karya penyair besar Sutardji Calzoum Bachri.
Puisi tersebut khusus menantang putra-putri pertiwi dan segenap komponen bangsa agar merapatkan barisan menjaga kemerdekaan, mengawal nilai-nlai luhur bangsa yakni Pancasila sebagai pagar-pagar pelindung keutuhan NKRI.
Bahwasanya kemerdekaan itu tidak hanya dimengerti sebagai pelepasan diri dari tangan penjajah melainkan bagaimana memaknai dan menghayatinya serta mempertahankannya.
Penampilan gemilang Yustin begitu Ia akrab disapa, sungguh menghipnotis segenap hadirin. Dalam setiap ekspresinya seakan mengubah situasi yang sedari awal tampak khusuk dan hikmat.
Semangat yang menggebu-nggebu dari seorang Yustine, yang kesehariannya berprofesi sebagai pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Permai Plus Jakarta Utara itu membuat naskah puisi yang dilantunkannya tampak hidup dan berkarakter.
Penampilannya membuat sebagian penonton sontak berdiri dan spontan bertepuk tangan lebih kencang dari sebelumnya. Dalam dirinya puisi benar-benar menjadi sesuatu yang hidup.
Sementara puisi Di Negri Amplop, karya penyair kenamaan Gus Mus-dibawakan oleh Yanto Selai, Mahasiswa Atma Jaya—dengan halus menyindir praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme sehingga acapkali Ibu Pertiwi menangis melihat anak-anaknya menjadi hamba uang.
Text puisi yang bait-baitnya penuh dengan sindiran halus dipertegas dengan ekspresi sang deklamator yang berkarakter dan penuh penuh penjiwaan. Balutan nada-nada yang menyentuh sanubari membuat segenap penonton ikut tersihir.
IMG-20170807-WA0011
Padahal dalam puisi Negeriku, lewat penampilan Yulina Anul, Mahasiswi Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro Jakarta, Ibu pertiwi mengajukan pertanyaan retoris: mana ada negeri sesubur negeriku?
Bahwasanya realitas yang dihadapi oleh setiap putra-putri pertiwi sungguh sangat ironis.
Kekayaan alam yang melimpah namun tetap saja, masyarakatnya harus mengemis dan kelaparan di negerinya yang subur dan kaya raya.
Alunan nada pada setiap kata, ekspresi yang variatif mengikuti alur dan pesan teks, sang deklamator mampu menghipnotis penonton pada sebuah permenungan panjang dan mendalam tentang apa dan bagaimana saya mengubah nasib di negeri sendiri.
P_20170806_173635_1_p
Puisi seperti Bhineka Tunggal Ika dan Negeriku ha…hi…masing-masing dibawakan oleh Jeremiaz dan Jefry Darman.
Penampilan seorang Jeremiaz, Mahasiswa Universitas Pamulang ini menghadapkan penonton pada realitas akan indahnya keberagaman.
Bahwasanya, konsep satu dan utuh lahir dari adanya dua hal entitas yang berbeda namun saling membutuhkan untuk mengaktualisasi diri hingga mencapai kepenuhan.
Sementara penampilan seorang Jefry Darman, Mahasiswa pada Institut Bisnis Nusantara, menantang penonton dengan teks puisi yang berisikan bait-bait jenaka tentunya berimplikasi menyindir dengan cara yang tak biasa.
Sang deklamator membawakan puisi tersebut dengan ekspresi yang santai namun hampir bisa dikatakan, setiap celetukan “ha…hi..”.yang terlantun membuat nyeri di ulu hati.
Sementara penonton asyik menikmati suguhan tema kenegaraan, Jonsy Lopong, tampil membawa api menyulut semangat para penonton untuk mulai jatuh cinta pada sastra.
Puisi karya Saut Sitompul Ia bawakan dengan menyentrik dan menggelitik hati. Bhawsananya menulis puisi itu bukan hal sulit.
Cukup ada kertas dan pena di tangan. Tulis saja apa yang ada di sekeliling. Apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasa dan dipikirkan.
Penampilan ekspresif dari seorang alumnus Universita Trisakti tersebut pada intinya berpesan bahwa siapa saja bisa menulis puisi, kapan dan di mana saja. Yang terpenting memiliki kepekaan dan tingkat sensitivitas yang tinggi dengan alam sekitar dan juga diri sendiri.
Beberapa hadirin juga diberikan kesempatan untuk membacakan puisi dan ditutup dengan puisi berjudul “Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu” karya KH. Mustofa Bisri yang dibawakan oleh Rikard Djegadut sebagai puisi pamungkas .
Puisi tersebut khusus menyorot ke-kontras-an antara realitas kepahitan yang dialami bangsa ini dengan pandangan visioner pengarang lagu Indonesia Tanah Air Beta—yang mana kemudian realitas-realitas ironis tersebut disuguhkan di meja permenungan bagi segenap komponen bangsa.
Pembacaan yang penuh ekspresif dan berkarakter membuat bulu kuduk para penonton sontak berdiri—di mana pada lirik-lirik ini sang deklamator menyanyikannya:
Indonesia tanah air
kita
Bahagia menjadi nestapa
Indonesia kini tiba-tiba
Selalu
dihina-hina bangsa
Di sana banyak orang lupa
Dibuai kepentingan
dunia
Tempat bertarung merebut kuasa
Sampai entah kapan
Akhirnya.
Acara diakhiri dengan pengambilan video ucapan selamat Hari Puisi Indonesia 2017 dari segenap pengurus dan anggota Dapur Theater Sastra Indonesia-IKWJ. (RDJ)

No comments