Header Ads

Breaking News

Bercak Darah pada Sebuah Catatan Harian oleh Rian Agung


Ditulis untuk mengenang insiden tragis di Jawa Timur ( Malang )  yang mengorbankan nyawa tak bersalah yakni  Mahasiswa asal Manggarai Barat ( Fidelis Honto )


Kepalaku pening. Bau apek begitu menyengat dalam kosku. Kos peninggalan almarhum kaeku yang telah meninggal dua tahun silam tahun silam.

Ratusan, bahkan ribuan buku tertata apik. Sungguh eksotik serentak antik. Aku termenung. Memutar kembali kenangan mustahil menjadi sebuah fakta; walau sejenak Aku terkurung dalam ruang kata-kata. Menghempasku pada sebuah dunia baru. Tapi, tidak asing. Ruangan masa lalu. Di mana rindu tercipta di dalamnya karena ada jarak. Ruangan yang selalu mendobrak kelopak mataku untuk terlanjur menatap kabur.

Selanjutnya hanya terdapat simbuhan air di sudut retina.  Mungkin akulah orang pertama yang menangis karena cinta. Cinta yang mengajarkanku bahwa memaafkan adalah aktus cinta yang paling intim.

Tak ada kata dendam padanya, walau itu sebuah fantasi. Itulah kae-ku. Seorang lelaki yang datang sebagai sosok pendiam tetapi bernas terpaksa berlalu pergi dalam arakan mega terpendar. Seorang lelaki yang berani meneguk embun walaupun itu raib dihalaui mentari.

Lelaki yang selalu menggelak ketika kutanya “ mungkinkah dendam menjadi sebentuk reaksi dari sebuah kehilangan cinta”. Singkatnya seorang lelaki yang kerap kusapa kae di awal segala karyaku. Lelaki penuh mister. Bukan misterius. Dialah yang mengajarkanku bahwa mencintai itu bukan saling memandang, tetapi sama-sama menatap ke satu arah. Lalu bermimpi bahwa ilusi itu sebuah surga.

Pernah pula dia berujar bahwa cinta itu begitu abstrak. Mungkin karena itulah, kematiannya masih menjadi sebuah pertanyaan akbar bagiku. Sesuatu yang abstrak dalam duniaku yang konkret.

“ Sefni bangunlah! Fajar baru saja menegurmu bahwa sekarang waktu tak bisa lagi ber kompromi”. Sebuah pekikkan filosofi dari mulut kaeku pada suatu subuh, membuatku melompat bangun dari ranjang tidur.

Fajar telah nampak. Tersembul malu-malu di atas garis star. Perlahan kumengintip di balik jendela kos. Tampak dalam kabut, kae berjalan kearah timur. Menentang sebuah catatan lepas. Dan telah kuduga itu adalah catatan harian yang selalu menemaninya sebelum istrahat malam. Ke mana? Hanya langkah dan bayangan mentari yang tahu.

Siang itu otakku sedang bergelut dengan aneka formula matematis dan ditumpuki oleh ribuan kajian teoritis. Seminggu lagi UTS datang menjemput. Kutak mau terjatuh, di timpah tangga lagi.

“Sefni......!”  tegur seorang teman kampus, membuyarkan konsentrasiku.  “Kaemu kecelakaan di jalan seberang. Ia mendahuluimu.” Sambungnya sembari menunduk menyembunyikan sesuatu dariku.

Sekali lagi aku bungkam. Tak berkata-kata. Hingga butiran bening terpaksa angkat bicara tak tahan dibendung lama dalam kelopak. Aku menangis untuk yang kedua kalinya. Tak peduli berlaksa onak menguliti dagingkut. Hanya satu harapan yang tersembunyi semoga kae baik-baik saja.

Sayang dunia berhenti berputar dan mataku kabur dalam bayangan mentari. Siang berlalu begitu cepat. Semuanya gelap seketika. Kae meninggal sambil memeluk sebuah catatan harian. Sebuah buku  yang aneh tapi itu bukan hal remeh baginya. Sebuah hal teraneh yang belum pernah ketemukan sebelumnya.

Sungguh ganjil. Kae selalu akrab dengan buku catatan harian itu. Katanya akan diberikan kepadaku kelak bila aku semakin dewasa.
Lama kelamaan heningku mulai berkata-kata. Senyap.

Masih di sini. Sebuah ruangan berdebu. Mataku menatap catatan harian yang bersampul coklat itu. Kata kae isinya tak terselami. Luas. Akbar, serentak akrab. Tapi bukan laut yang bertepi.

Masih kucium aroma keringat perjuangan kae di setiap halamannya. Aroma hangat yang selalu berbisik bawha hidup adalah sebuah buku. Dan setiap lekukan garis bermakna adalah perjuangan.

Siapa yang tidak berjuang dalam hidup akan mati berulang kali sebelum ia mati sesungguhnya. Ia mati dalam kebingungan.
Kucoba membersihkan debu yang menetap di setiap lembaran buku catatan harian yang sudah kusam itu. Tampak samar-samar fotonya dari masih kecil hingga dewasa.

Berpenampilan sedikit lugu, sederhana seturut kepribadiannya. Lembar demi lembar kulahap perlahan-lahan hingga berhenti seketika. Menatap secarik kertas kumal di baliknya. Surat tua bertuliskan “ buat adikku Sefni”.
Hatiku gemetar. Jemari tanganku terasa lemas menopang, sehinggga  buku catatan harian itu nyaris jatuh. Setelah kumantapkan hati dan pikiran, lambat laun kueja satu persatu makna coretan kecil itu.
Buat adikku Sefni.........

 Hiburlah hatimu karena suatu saat kae pasti akan pergi selamanya. Bila nanti orang menyorotimu sebagai orang yang tak berkae, biarlah Sef, sebab mulai hari ini engkau berkaekan buku catatan harian ini dengan hatimu sebagai seorang sahabat.

Semoga keduanya seiring dan seperjalanan, bukan saling mengiringi. Maaf bila kae membohongimu selama ini. Semua itu karena kae tak mau engkau disekap oleh emosimu. Lalu depresi.

Sebenarnya kematianku adalah korban kebencian dan dendam. Kae dibunuh oleh segerombolan orang yang selama ini dekat dan akrab dengan kita. Mereka seasal dan sekampung dengan kita.

Sefni jangan menagis atau marah pada kehidupan. Bersaksilah pada orang-orang bahwa hidup itu indah kalau kita saling memaafkan. Jika ingin menemui kae, cukup maafkan mereka yang telah membunuhku. Kae selalau di sampingmu. Menjaga setiap hembusan nafas dan kedipan matamu.

Kulipat kertas itu dengan hati hancur. Sekali lagi kutatap buku catatan harian itu, dan dalam hati aku berguman, “ Kae aku ingin bicara denganmu. Masih ingatkah kae? Hari ini adalah hari ulang tahunmu............. Selamat ulang tahun kaeku tersayang....
Keterangan : Kae adalah sapaan dalam bahasa Manggarai untuk seorang kakak


No comments